Kamis, 24 Maret 2011

TEORI TENTANG PERUBAHAN SOSIAL

BAB  I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
 Ruang lingkup perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun immaterial. Penekannya adalah pada pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial. Perubahan sosial diartikan sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.
Definisi lain dari perubahan sosial adalah segala perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya. Tekanan pada definisi tersebut adalah pada lembaga masyarakat sebagai himpunan kelompok manusia dimana perubahan mempengaruhi struktur masyarakat lainnya (Soekanto, 1990). Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti misalnya perubahan dalam unsur geografis, biologis, ekonomis dan kebudayaan. Sorokin (1957), berpendapat bahwa segenap usaha untuk mengemukakan suatu kecenderungan yang tertentu dan tetap dalam perubahan sosial tidak akan berhasil baik.
Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial. Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan (Soekanto, 1990).
Perubahan kebudayaan bertitik tolak dan timbul dari organisasi sosial. Pendapat tersebut dikembalikan pada pengertian masyarakat dan kebudayaan. Masyarakat adalah sistem hubungan dalam arti hubungan antar organisasi dan bukan hubungan antar sel. Kebudayaan mencakup segenap cara berfikir dan bertingkah laku, yang timbul karena interaksi yang bersifat komunikatif seperti menyampaikan buah pikiran secara simbolik dan bukan warisan karena keturunan (Davis, 1960). Apabila diambil definisi kebudayaan menurut Taylor dalam Soekanto (1990), kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan setiap kemampuan serta kebiasaan manusia sebagai warga masyarakat, maka perubahan kebudayaan dalah segala perubahan yang mencakup unsur-unsur tersebut. Soemardjan (1982), mengemukakan bahwa perubahan sosial dan perubahan kebudayaan mempunyai aspek yang sama yaitu keduanya bersangkut paut dengan suatu cara penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi kebutuhannya.
Untuk mempelajari perubahan pada masyarakat, perlu diketahui sebab-sebab yang melatari terjadinya perubahan itu. Apabila diteliti lebih mendalam sebab terjadinya suatu perubahan masyarakat, mungkin karena adanya sesuatu yang dianggap sudah tidak lagi memuaskan. Menurut Soekanto (1990), penyebab perubahan sosial dalam suatu masyarakat dibedakan menjadi dua macam yaitu faktor dari dalam dan luar. Faktor penyebab yang berasal dari dalam masyarakat sendiri antara lain bertambah atau berkurangnya jumlah penduduk, penemuan baru, pertentangan dalam masyarakat, terjadinya pemberontakan atau revolusi. Sedangkan faktor penyebab dari luar masyarakat adalah lingkungan fisik sekitar, peperangan, pengaruh kebudayaan masyarakat lain.

A.    Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah mengidentivikasi teori perubahan sosial dan bagaimana perubahan sosial terjadi dan dampak apa yang ditimbulkan dalam dalam masyarakat akibat perubahan social tersebut.

B.    Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana perubahan sosial terjadi dan dampak apa yang ditimbulkan dalam dalam masyarakat akibat perubahan sosial tersebut.
 
BAB  II
PEMBAHASAN

1.    PENGERTIAN PERUBAHAN SOSIAL

  • Perubahan sosial adalah perubahan yang berkenaan dengan perubahan struktur sosial dan sistem dari suatu kelompok masyarakat tertentu.
  • Kingsley davis mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dari fungsi masyarakat. Misalnya timbulnya pengorganisasian buruh dalam masyarakat kapitalis telah menyebabkan perubahan-perubahan dalam hubungan antara buruh dengan majikan dan seterusnya menyebabkan perubahan-perubahn dalam organisasi eknomi dan politik.
  • Maclver menyatakan perubahan-perubahan sosial itu dikatakanya sebagai-perubahan-perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahn terhadap mkeseimbangan hubungan sosial.
  • Gillin-gillin menyatakan perubahan-perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayan, materil, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan penemuan baru dalam masyarakat. Secara singkat samuel koening menyatakan bahwa perubahan sosial menunjukan pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalm pola-pola kehidupan manusia yang terjadi karena sebab-sebab interen maupun sebab-sebab eksteren.
  • Solo soemardjan menyatakan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemesyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai sikap, dan pola prilakuu diantara klompok-kelompok dalam masyarakat. Tekanan pada definisi tesbut terletak pada lembaga-lembaga kemesyarakatan sebagai himpunan pokok manusia yang kemudian memengruhi segi-segi struktur masyarakat lainya.



Adapun pola-pola yang sering tampak dalam perubahn sosial (dalam arti bahwa pengaruh terhadap perubahan struktur dan sistem sosial ) antara lain adalah :
a.    Ganguan keseimbangan yang hanya sekali terjadi, umpanya dengan terjadi suatu revolusi yaang menghasilkan kemerdekan sehingga setelah selesai pemerintah kolonial diganti dengan pamerintah nasional yang diakibatkan perubahan struktur-struktur dan sistem maysarakat tersebut.
b.    Perubahan berglombang yakni gangguan keseimbangan dalam masyarakat yang selalu timbul kembali, tetapi selalu terjadi keseimbangan kembali. Sehingga seolah-olah adanya perubahan-perubahan bergelombang, sebagai contoh umpamanya perubahan-perubahan :
1.   `gerkan kojungtur dalam proses ekonomi (naik turun berganti-ganti)
2.   Pergantian radikalsme dan onservatisme dalam beberapa sistem politik.
3.   Perubahan dibidang mode yang berulang kembali silih berganti (panjang-pendek,lebar-sempit)
c.    Perubahan komulatif yaitu suatu gangguan kesimbangan yang berulang-ulang sehingga menghasilkan perubahan-perubahan baru baik bersifat kemajuan atau kemunduran dalam masyarakat.

          Dalam proses perubahn sosial ini gerak kemasyarakatan dan proses-proses sosial seperti telah diuraikan diatas mempengaruhi perubahan sosial yang menyangkut perubahan sistem sosial dan struktur sosial.
          Untuk jelasnya dapat kiranya digambarkan secara sederhana sekali perubahan sosial di indonesia sebagai berikut :
          Pada masa yang silam dapt dikatakan bahwa masyarakat setelah proklamasi  1945 bansa indonesia hidup dalm strutur sosial yang tradisional yakni jaringan-jaringan hubungan antara individu dalam pergaulan hidup didasarkan pada setatusnya yang berdasaarkan geonologis dan tritorial, hubungan dibidang ekonomi, sosial kultural, hukum dan lain-lain dilangsungkan secara tradisional. Struktur tradisional ini lambat laun mengalami perubahan dan pergeseran, Terutama telah dimulainya penyebaran dan pengembangan pendidikan dan pengajaran di indonesia dimulai sejak adanya sikap kolonial belanda  pada akhir abad-19 yang disusul dengan masuknya kebudayan teknologi dan ilmu pengetahuan barat, maka kelompok masyarakt indonesia terutama yang hidup di kota-kota besar mengalami perubahan soial, dimana mereka mereka meninggalkan struktur sosial tradisional dan hidup dalam strutur  sosial moderen.
          Struktur sosial moderen adalah jaringan-jaringan antara hubungan individu dalam pergaulan hidup  berdasarkan statusnya, yang bersifat obyektif dan rasional, dan daripadanya berkembang lembaga-lembaga sosial, poitik ekonomi dan sosial kultural yang dalam tata kerjanya mengunakan prinsif-prinsif ilmu pengetahuan moderen.
          Dengan demikan dewasa ini masyarakt indonesia ada yang hidup dalam struktur sosial moderen. Yakni hidup di kota-kota dan ada pula yang hidup dalam  struktur sosial tradisional yakni mereka hidup yang di desa-desa. Maka  bila ditinjau dari segi kultural masrakat pedesaan indonesia pun akanmengalami perubahan-perubahan sosial yang menyangkut perubahan struktur sosial dan sistem sosialnya.       
Perubahan sosial dapat diartikan sebagai segala perubahan pada lembaga-lembaga sosial dalam suatu masyarakat. Perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga sosial itu selanjutnya mempunyai pengaruhnya pada sistem-sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, pola-pola perilaku ataupun sikap-sikap dalam masyarakat itu yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial.
Masih banyak faktor-faktor penyebab perubahan sosial yang dapat disebutkan, ataupun mempengaruhi proses suatu perubahan sosial. Kontak-kontak dengan kebudayaan lain yang kemudian memberikan pengaruhnya, perubahan pendidikan, ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu, penduduk yang heterogen, tolerasi terhadap perbuatan-perbuatan yang semula dianggap menyimpang dan melanggar tetapi yang lambat laun menjadi norma-norma, bahkan peraturan-peraturan atau hukum-hukum yang bersifat formal.
Perubahan itu dapat mengenai lingkungan hidup dalam arti lebih luas lagi, mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola keperilakuan, strukturstruktur, organisasi, lembaga-lembaga, lapisan-lapisan masyarakat, relasi-relasi sosial, sistem-sistem komunikasi itu sendiri. Juga perihal kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial, kemajuan teknologi dan seterusnya.
Ada pandangan yang menyatakan bahwa perubahan sosial itu merupakan suatu respons ataupun jawaban dialami terhadap perubahan-perubahan tiga unsur utama :
1. Faktor alam
2. Faktor teknologi
3. Faktor kebudayaan
Kalau ada perubahan daripada salah satu faktor tadi, ataupun kombinasi dua diantaranya, atau bersama-sama, maka terjadilah perubahan sosial. Faktor alam apabila yang dimaksudkan adalah perubahan jasmaniah, kurang sekali menentukan perubahan sosial. Hubungan korelatif antara perubahan slam dan perubahan sosial atau masyarakat tidak begitu kelihatan, karena jarang sekali alam mengalami perubahan yang menentukan, kalaupun ada maka prosesnya itu adalah lambat. Dengan demikian masyarakat jauh lebih cepat berubahnya daripada perubahan alam. Praktis tak ada hubungan langsung antara kedua perubahan tersebut. Tetapi kalau faktor alam ini diartikan juga faktor biologis, hubungan itu bisa di lihat nyata. Misalnya saja pertambahan penduduk yang demikian pesat, yang mengubah dan memerlukan pola relasi ataupun sistem komunikasi lain yang baru. Dalam masyarakat modern, faktor teknologi dapat mengubah sistem komunikasi ataupun relasi sosial. Apalagi teknologi komunikasi yang demikian pesat majunya sudah pasti sangat menentukan dalam perubahan sosial itu.

2.    TEORI-TEORI PERUBAHAN SOSIAL

          Para ahli filsafat, sejarah, ekonomian para sosiologi telah mencoba untuk merumuskan prinsip-frinsip atau hukum-hukum perubahan-perubahan sosial. Banyak yang berpendapat  kecendrungan  terjadinya perubahan-perubahan sosial merupakan gejala wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia.
          Yang lain berpandapat bahwa perubahan sosial terjadi kaarena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarkat seperti misalnya perubahan dalam unsur-unsur geografis, biologis, ekonomis, atau kebudayaan. Kemudian ada pula yang bependapat bahwa perubahan-perubahan sosial bersifat periodik dan non-periodik. Pokonya pendapat-pendapat tersebut pada umumnya menyatakan bahwa perubahan meerupakan lingkaran kejadian.

          Pitirim A. Sorokin berpendapat bahwa segenap usaha untuk mengemukakan bawa ada suatu kecendrungan yang tertentu dan tetap dalam perubahan-perubahan sosial, tidak akan berhaasil baik. Dia meragukan kebenaran akan adanya lingkaran-lingkaran perubahan sosial tersbut. Akan tetapi perubahan-perubahan tetap  ada, dan yang paling penting adalah bahwa lingkaran terjadinya gejala-gejala sosial harus dipelajari karena dengan jalan tesebut  barulah akan dapt diperoleh suatu generalisasi.

          Beberapa sosiologi berpendapat bahwa ada kondisi-kondisi sosial primer yang menyebabkan tejadinya perubahan. Misalnya kondisi-kondisi ekonomis, teknologis, geografis, atau biologis menyebabkan tejadinya perubahan-perubahan pada asfek-aspek kehidupan sosial lainya(wiliam f . ogbrun menekankan pada kondisi teknologis) . sebaliknya ada pula yang mengatakan bahwa semua kondisi tersebut sama pentingnya, satu atau semua akan menelorkan perubahan-perubahan sosial.

          Untuk mendapatkan hasil sebagai mana diharapkan, hubungan antara kondisi dan faktor-faktor tersebut harus diteliti terlebih dahulu. Penelitian yang obyektif akan memberikan hukum-hukum umum perubahan sosial dan kebudayan, disamping itu juga harus diperhatikan waktu serta tempatnya perubhan-perubahan tersebut berlangsung.
          Teori perubahan social dan budaya Karl Marx yang merumuskan bahwa perubahan social dan budaya sebagai produk dari sebuah produksi (materialism), sedangkan Max weber lebih pada system gagasan, system pengetahuan, system kepercayaan yang justru menjadi sebab perubahan.
Jika dua pandangan itu digunakan sebagai asas dalam pengembangan program Pendidikan Nonformal, akan memberikan dampak untung dan rugi,
Menurut Douglas (1973), mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan makrososiologi mempelajari struktur. George C. Homans yang mempelajari mikrososiologi mengaitkan struktur dengan perilaku sosial elementer dalam hubungan sosial sehari-hari, sedangkan Gerhard Lenski lebih menekankan pada struktur masyarakat yang diarahkan oleh kecenderungan jangka panjang yang menandai sejarah. Talcott Parsons yang bekerja pada ranah makrososiologi menilai struktur sebagai kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem sosial. Coleman melihat struktur sebagai pola hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia atau masyarakat. Kornblum (1988) menyatakan struktur merupakan pola perilaku berulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat.
Mengacu pada pengertian struktur sosial menurut Kornblum yang menekankan pada pola perilaku yang berulang, maka konsep dasar dalam pembahasan struktur adalah adanya perilaku individu atau kelompok. Perilaku sendiri merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya yang didalamnya terdapat proses komunikasi ide dan negosiasi.
          Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Ralph Linton dikenal adanya dua konsep yaitu status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Menurut Linton (1967), seseorang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton adalah pembagian status menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan status yang diraih (achieved status).
          Status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa memandang kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai status yang memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada individu sejak ia lahir, melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha pribadi.
Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian suatu struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang saling berkait. Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu kelas, status dan kekuasaan. Konsep kelas, status dan kekuasaan merupakan pandangan yang disampaikan oleh Max Weber (Beteille, 1970).
Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi. Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama (Beteille, 1970).
          Berbagai kasus yang disajikan oleh beberapa penulis di depan dapat kita pahami sebagai bentuk adanya peluang mobilitas sosial dalam masyarakat. Kemunculan kelas-kelas sosial baru dapat terjadi dengan adanya dukungan perubahan modal produksi sehingga menimbulkan pembagian dan spesialisasi kerja serta hadirnya organisasi modern yang bersifat kompleks. Perubahan tatanan masyarakat dari yang semula tradisional agraris bercirikan feodal menuju masyarakat industri modern memungkinkan timbulnya kelas-kelas baru. Kelas merupakan perwujudan sekelompok individu dengan persamaan status. Status sosial pada masyarakat tradisional seringkali hanya berupa ascribed status seperti gelar kebangsawanan atau penguasaan tanah secara turun temurun. Seiring dengan lahirnya industri modern, pembagian kerja dan organisasi modern turut menyumbangkan adanya achieved status, seperti pekerjaan, pendapatan hingga pendidikan.
          Teori inkonsistensi status telah mencoba menelaah tentang adanya inkonsistensi dalam individu sebagai akibat berbagai status yang diperolehnya. Konsep ini memberikan gambaran bagaimana tentang proses kemunculan kelas-kelas baru dalam masyarakat sehingga menimbulkan perubahan stratifikasi sosial yang tentu saja mempengaruhi struktur sosial yang telah ada.
          Apabila dilihat lebih jauh, kemunculan kelas baru ini akan menyebabkan semakin ketatnya kompetisi antar individu dalam masyarakat baik dalam perebutan kekuasaan atau upaya melanggengkan status yang telah diraih. Fenomena kompetisi dan konflik yang muncul dapat dipahami sebagai sebuah mekanisme interaksional yang memunculkan perubahan sosial dalam masyarakat.
Sosiolog Mazhab Frankfurt Max Horkheimer (1895–1973) dan Theodor Adorno (1903-1969) membuat landasan instrumental agenda-agenda teoretis mazhab ini. Analisisnya berkenaan dengan pembedaan antara peradaban barat dan timur, dan bagaimana peradaban barat telah menyimpang dengan konsep rasionalitas yang bertujuan untuk menaklukkan dan mengatur alam semesta. Studi-studi yang mereka lakukan berlandaskan pada hal ini, diikuti oleh sosiolog Jerman-Amerika, Herbert Marcuse (1898-1979). Dalam perkembangannya, sosiolog Frankfurt termuda, Juergen Habermas, mengubah agenda Mazhab Frankfurt menjadi upaya emanisipatoris atas rasionalisme pencerahan.
Belakangan, pemikiran Mazhab Frankfurt ini telah mempengaruhi banyak sekali teoretisi sosial yang memfokuskan kritik pada obyek budaya seperti hiburan, musik, mode, dan sebagainya yang dinyatakan sebagai industri budaya. Dalam teori kritis atau neo-marxisme ini, sudah tidak ada lagi determinisme ekonomi dan tak lagi meyakini bahwa kaum miskin (proletar) akan menjadi agen perubahan sosial, namun bergerak ke kelompok sosial lain, seperti kaum radikal di kampus-kampus, dan sebagainya. Ini menjadi keyakinan mereka merupakan agen-agen untuk melakukan transformasi sosial di kemudian hari.
Hingga hari ini, neo-marxisme masih terus berkembang namun tidak banyak menuai perkembangan teoretis. Tradisinya hidup di studi-studi budaya, namun masih memiliki motif yang sama yaitu upaya pembukaan tabir dan motif-motif kapitalisme di tengah-tengah masyarakat.
Selain kemunculan teoretisi neo-marxis, pergulatan antar kelas ekonomi menjadi inspirasi pula bagi lahirnya teori konflik. Sosiolog Jerman, Ralf Dahrendorf, menerangkan konflik kelas dalam masyarakat industrial pada tahun 1959. Teori ini sangat berbeda dari teori Marx karena ia menganalisis konflik tanpa memperhitungkan politik ekonomi yang ada (apakah kapitalisme atau sosialisme). Jika Marx bersandar pada PEMILIKAN alat produksi, maka Dahrendorf bersandar pada KONTROL atas alat produksi. Dalam terminologi Dahrendorf, pada masa pos-kapitalisme, kepemilikan akan alat produksi (baik sosialis atau kapitalis) tidak menjamin adanya kontrol atas alat produksi. Jadi, di luar Marxisme, ia mengembangkan beberapa terminologi dari Max Weber, antara lain bahwa sistem sosial itu dikoordinasi secara imperatif melalui otoritas/kekuasaan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa teori Dahrendorf melakukan kombinasi antara fungsionalisme (tentang struktur dan fungsi masyarakat) dengan teori (konflik) antar kelas sosial. Kalau menurut teori fungsionalisme struktural, masyrakat berada didalam kondisi statis atau tepatnya bergerak dalam kondisi keseimbangan maka menurut teori konflik malah sebaliknya. Masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan terus menerus diantara unsur-unsurnya, Teori sosial Dahrendorf  berfokus pada kelompok kepentingan konflik yang berkenaan dengan kepemimpinan, ideologi, dan komunikasi di samping tentu saja berusaha melakukan berbagai usaha untuk menstrukturkan konflik itu sendiri, mulai dari proses terjadinya hingga intensitasnya dan kaitannya dengan kekerasan. Jadi bedanya dengan fungsionalisme jelas, bahwa ia tidak memandang masyarakat sebagai sebuah hal yang tetap/statis, namun senantiasa berubah oleh terjadinya konflik dalam masyarakat. Dalam menelaah konflik antara kelas bawah dan kelas atas misalnya, Dahrendorf menunjukkan bahwa kepentingan kelas bawah menantang legitimasi struktur otoritas yang ada. Kepentingan antara dua kelas yang berlawanan ditentukan oleh sifat struktur otoritas dan bukan oleh orientasi individu pribadi yang terlibat di dalamnya. Individu tidak harus sadar akan kelasnya untuk kemudian menantang kelas sosial  lainnya.
Aspek terakhir teori konflik dahrendorf adalah mata rantai antara konflik dan perubahan sosial, konflik menurutnya memimpin kearah perubahan dan pembangunan. Dalam situasi konflik golongan yang terlibat melakukan tindakan-tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur sosial. Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka perubahan yang timbul bersifat radikal. Begitu pul kalau konflik disertai oleh penggunaan kekerasan maka perubahan struktural akan efektif.   
Sebelumnya, Georg Simmel (1858–1918), sosiolog fungsionalis Jerman juga telah mencoba mendekati teori konflik dengan menunjukkan bahwa konflik merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang mendasar; berkaitan dengan sikap bekerja sama dalam masyarakat. Dalam hal ini Simmel mungkin salah seorang sosiolog pertama yang berusaha keras untuk mengkonstruksi sistem formal dalam sosiologi yang diabstraksikan dari sejarah dan detil pengalaman manusia. Analisisnya tentang efek ekonomi uang dalam perilaku manusia merupakan salah satu pekerjaannya yang penting.
Jika Simmel membedah teori sosial berdasarkan konfliknya, maka sosiolog konflik Amerika Serikat, Lewis Coser (1913-2003), bertitik berat pada konsekuensi-konsekuensi terjadinya konflik pada sebuah sistem sosial secara keseluruhan. Teorinya menunjukkan kekeliruan jika memandang konflik sebagai hal yang melulu merusak sistem sosial, karena konflik juga dapat memberikan keuntungan pada masyarakat luas di mana konflik tersebut terjadi. Konflik justru dapat membuka peluang integrasi antar kelompok.
Di Amerika Serikat, teori konflik muncul menjadi sebuah cabang teoretis oleh karena ketidaksukaan pada sosiologi fungsionalisme yang berkembang saat itu. C. Wright Mills, sosiolog Amerika 1960-an mengecam fungsionalisme melalui kritiknya tentang elit kekuasaan di Amerika saat itu. Perdebatan Mills dan fungsionalisme ini pada dasarnya menunjukkan bagaimana sosiologi telah berkarib dengan ideologi. Tuduhan yang paling besar adalah uraiannya tentang karya Parsons yang bermuatan ideologis dan menurutnya sebagian besar isinya kosong/hampa. Secara metodologi, Mills lebih mirip dengan mazhab Frankfurt atas kritiknya pada media massa, pemerintahan, dan militer. Salah satu contoh proposisinya yang kontroversial adalah bahwa menurutnya di Amerika terjadi paradoks demokrasi: bentuk pemerintahannya adalah demokrasi namun seluruh struktur organisasinya cenderung diubah ke bentuk oligarkhi, hanya sedikit yang memiliki kekuasaan politik.
Dalam sosiologi, teori konflik berdasar pada asumsi dasar bahwa masyarakat atau organisasi berfungsi sedemikian di mana individu dan kelompoknya berjuang untuk memaksimumkan keuntungan yang diperolehnya; secara tak langsung dan tak mungkin dihindari adalah perubahan sosial yang besar seperti revolusi dan perubahan tatanan politik. Teori konflik ini secara umum berusaha memberikan kritiknya pada fungsionalisme yang
meyakini bahwa masyarakat dan organisasi memainkan peran masing-masing sedemikian seperti halnya organ-organ dalam tubuh makhluk hidup.

Ringkasnya, ada sedikitnya empat hal yang penting dalam memahami teori konfilk sosial, antara lain:
1.      kompetisi (atas kelangkaan sumber daya seperti makanan, kesenangan, partner seksual, dan sebagainya. Yang menjadi dasar interaksi manusia bukanlah KONSENSUS seperi yang ditawarkan fungsionalisme, namun lebih kepada KOMPETISI.
2.      Ketaksamaan struktural. Ketaksamaan dalam hal kuasa, perolehan yang ada dalam struktur sosial.
3.      Individu dan kelompok yang ingin mendapatkan keuntungan dan berjuang untuk mencapai revolusi.
4.      Perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari konflik antara keinginan (interes) yang saling berkompetisi dan bukan sekadar adaptasi. Perubahan sosial sering terjadi secara cepat dan revolusioner daripada evolusioner.
Dalam perkembangannya, teori konflik Mills, Dahrendorf, dan Coser berusaha disusun sintesisnya oleh sosiolog Amerika lain, Randall Collins, yang berusaha menunjukkan dinamika konflik interaksional. Menurut Collins, struktur sosial tidak mempunyai EKSISTENSI OBYEKTIF yang terpisah dari pola-pola interaksi yang selalu berulang-ulang dalam sistem sosial; struktur sosial memiliki EKSISTENSI SUBYEKTIF dalam pikiran individu yang menyusun masyarakat. Dalam hal ini, Collins mulai membagi apa yang MIKRO dan apa yang MAKRO. Mikrososial berarti hubungan interaksi antar individu dalam masyarakat, sementara makrososial berarti hasil dari interaksi antar individu dalam masyarakat tersebut.
Collins sangat dipengaruhi tak hanya pendahulunya dalam teori konflik, namun juga pemikiran teori kritis dan fungsionalisme dan teori pertukaran sosial. Salah satu contoh yang menarik adalah pendapatnya tentang alat produksi mental, misalnya pendidikan dan media massa serta alat produksi emosional seperti tradisi dan ritualisme sosial. Semakin besar kepercayaan akan senjata-senjata mahal yang dipegang oleh suatu kelompok, semakin besar pula tentara mengambil bentuk hirarki komando. Di sisi lain, semakin besar persamaan dalam kelompok disatukan secara seremonial, semakin besar pula kenderungan agama menekankan ritus-ritus partisipasi massa dan ideal persaudaraan kelompok. Demikian seterusnya, seolah tercapai pertemuan antara teori struktur-fungsionalisme, teori konflik, dan interaksionisme symbol
Parsons juga mencoba mencari penyelesaian lebih prgamatis dalam zamannya yang pemikirannya membuahkan theori “Social System”. Ini sebanya theori tesebut juga mempengaruhi pengajaran dan pemahaman sosiologi, yang waktu tahun 1930-an menarik banyak penganut pakar Sosiolog di luar AS. Bahkan sedemikian rupa sehingga menggusur theori-theori sosiologi dalam tradisi Eropa, seperti Max Weber, Karl Mannheim dan lain-lain yang tidak mengesampingkan dimensi falsafah dan sejarah. Jadi boleh dikatakan sosiologi Meso timbul dengan theori Parsons, tetapi dengan mengorbankan faktor “dinamika” (perubahan sosial makro yang ciri Sosiologi Eropa) dengan mengunggulkan “Struktur dan Fungsi”.
Akibat pengaruh Amerika Serikat sebagai negara adidaya setelah 1950 yang terus meluas setelah perang dunia kedua, theori Sosiologi dinegara berkembang pun terpengaruhi, karena menekuni masalah yang tidak melampaui batas “nation state”. Negara-negara baru dengan kesadaran nasional yang tinggi ingin mengatur struktur kelembagaan dalam masyarakat masing-masing.
          Sekarang di Indonesia mulai terasa adanya dilemma, karena “nation state” belum mantap sudah timbul Globalisasi yang pasti merubah pengelompokan dan perilaku-perilaku sosial yang lebih universal.
Baik lahirnya “nation state” Indonesia di pertengahan abad ke-20 dan pembangunan nasional yang digalakkan selama periode pemerintahan Orde Baru merangsang tumbuhnya theori struktur dan fungsi Parsons. Bukan saja pragmatik (non-dinamika) yang dipentingkan karena tujuannya adalah pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kurang mengulas perubahan sosial dan konflik. Perubahan struktur sosial yang sebenarnya di Indonesia akan dimulai tahun 1960 dengan mengatur agraria, berhenti tetapi itu (1965) dan kemudian andalannya adalah menumbuhkan klas menengah. Sering dikatakan bahwa klas menengah merupakan prasyarat untuk pertumbuhan demokrasi maupun ekonomi.
Dialektika dalam masyarakat yang mengandung potensi konflik , antara sentralisme politik dan arus kebebasan generasi muda yang tertekan, meletus waktu krisis 1997 dan Reformasi 1998 sampai menggoncangkan sendi-sendi masyarakat.
Analisa-analisa pakar-pakar tersebut diatas menunjukkan pentingnya dinamika sosial dalam masyarakat modern yang lebih memperkaya imajinasi sosiologi kita. Jadi di Amerika Serikat setelah T. Parsons timbul mazhab-mazhab Sosiologi muda yang lebih memahami pentingnya gejala perubahan dan konflik sosial, yang pada hemat penulis lebih merupakan warisan dari tradisi Sosiologi Eropa.
Ini dibenarkan oleh a. Gouldner yang menulis dan menyimpulkan bahwa “Academic Sociology semakin terjalin dengan analisa K. Marx, sehingga di Amerika misalnya menimbulkan gerakan “New Left” menentang Establishment atau di Eropa (Jerman) “Tentara Merah” dengan tokoh muda Beader Meinhof. Mungkin P.R.D di Indonesia dapat diketegorikan dalam pemberontakan generasi muda seperti itu, yang sudah jenuh dengan elite Orde Baru di Jepang pun ada gerakan-gerakan serupa.
Pemberontakan menentang tradisi dan pemikiran generasi “arrive” yang kolot oleh generasi muda selalu akan timbul dalam masyarakat manusia sebagai terjadi tahun 1945, sebentar di tahun 1965 dan dewasa ini sejak tahun 1998. Dalam  arti yang lebih murni memang paradigma yang umum dianut sarjana Sosiologi di Indonesia perlu dirubah. Kalau di Zaman Orde Baru sukar untuk menganalisa secara terbuka gejala stratifikasi sosial dan konflik antara Klas, sekarang sudah lebih bisa diterima, karena memang gejalanya sudah ada sejak zaman penjajahan sekalipun.
Struktur feodal memang berlapis-lapis dan eksploatasi jelas sudah ada. Jadi perlu reorientasi sosiologi untuk banyak ilmuwan Sosiologi dan cedekiawan yang memperhatikan perkembangan kebudayaan karena keadaan sudah berubah. Tantangan bukan hanya ada di dalam negeri, tetapi sekaligus juga dalam hubungan kita dengan negara dan bangsa, bukan saja yang geografis menjadi tetangga kita, tetapi juga dengan negara-negara sebenua, bahkan di benua lain.
Satuan pelaku sosial bukan saja lagi “nation state” tetapi komunitas negara atau bangsa yang sudah melintasi batas nation-state. Mazhab-mazhab agama menjadi salah satu ilustrasi jelas, tetapi juga “pendukung pelestarian alam dan lingkungan, serta perjuangan untuk “Hak Azasi Manusia” dan “Gender” dapat segera difahami sebagai komunitas besar yang menjadi ciri pengelompokan Global. Sosiologi tidak dapat lagi bertahan dengan membatasi diri dengan mempelajari “residual social elements seperti pernah digagas oleh cendekiawan Prancis Saint Simon di awal abad ke-19.
Inilah sebabnya mengapa perlu ada reorientasi Sosiologi di Indonesia; bukan ekonomi lagi yang akan bertahan sebagai “The Queen of The Social Sciences”, tetapi sosiologi yang mengulur tangan kepada cabang-cabang ilmu Sosial lain dan Humaniora untuk menganalisa dan memecahkan masalah kemasyarakatan secara terpadu





5.    PROSES PERUBAHAN SOSIAL
Proses perubahan sosial terdiri dari tiga tahap barurutan :
1)      invensi yaitu proses di mana ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan,
2)      difusi, ialah proses di mans ide-ide baru itu dikomunikasikan ke dalam Sistem sosial, dan
3)       konsekwensi yakni perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem social sebagai akibat pengadopsian atau penolakan inovasi.
Perubahan terjadi jika penggunaan atau penolakan ide baru itu mempunysi akibat. Karena itu perubahan sosial adalah akibat komunikasi sosial.

Beberapa pengamat terutama ahli anthropologi memerinci dua tahap tambahan dalam urutan proses di atas. Salah satunya ialah pengembangan inovasi yang terjadi telah invensi sebelum terjadi difusi. Yang dimaksud ialah proses terbentuknya ide baru dari suatu bentuk hingga menjadi suatu bentuk yang memenuhi kebutuhan audiens penerima yang menghendaki. Kami tidak memaaukkan tahap ini karena ia tidak selalu ada. Misalnya, jika inovasi itu dalam bentuk yang siap pakai. Tahap terakhir yang terjadi setelah konsekwensi, adalah menyusutnya inovasi, ini menjadi bagian dari konsekwensi.

Yang memicu terjadinya perubahan dan sebaliknya perubahan sosial dapat juga terhambat kejadiannya selagi ada faktor yang menghambat perkembangannya. Faktor pendorong perubahan sosial meliputi kontak dengan kebudayaan lain, sistem masyarakat yang terbuka, penduduk yang heterogen serta masyarakat yang berorientasi ke masa depan. Faktor penghambat antara lain sistem masyarakat yang tertutup, vested interest, prasangka terhadap hal yang baru serta adat yang berlaku.

Perubahan sosial dalam masyarakat dapat dibedakan dalam perubahan cepat dan lambat, perubahan kecil dan besar serta perubahan direncanakan dan tidak direncanakan. Tidak ada satu perubahan yang tidak meninggalkan dampak pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan tersebut. Bahkan suatu penemuan teknologi baru dapat mempengaruhi unsur-unsur budaya lainnya. Dampak dari perubahan sosial antara lain meliputi disorganisasi dan reorganisasi sosial, teknologi serta cultural.


6.    PENYEBAB PERUBAHAN SOSIAL
1.     Dari Dalam Masyarakat
ü  Mobilitas Penduduk
Mobilitas penduduk ini meliputi bukan hanya perpindahan penduduk dari desa ke kota atau sebaiiknya, tetapi juga bertambah dan berkurangnya penduduk
ü  Penemuan-penemuan baru (inovasi)
Adanya penemuan teknologi baru, misalnya teknologi plastik. Jika dulu daun jati, daun pisang dan biting (lidi) dapat diperdagangkan secara besar-besaran maka sekarang tidak lagi.
Suatu proses sosial perubahan yang terjadi secara besar-besaran dan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama sering disebut dengan inovasi atau innovation. Penemuan-penemuan baru sebagai sebab terjadinya perubahan-perubahan dapat dibedakan dalam pengertian-pengertian Discovery dan Invention
Discovery adalah penemuan unsur kebudayaan baru baik berupa alat ataupun gagasan yang diciptakan oleh seorang individu atau serangkaian ciptaan para individu.
Discovery baru menjadi invention kalau masyarakat sudah mengakui dan menerapkan penemuan baru itu.
ü  Pertentangan masyarakat
Pertentangan dapat terjadi antara individu dengan kelompok atau antara kelompok dengan kelompok.
ü  Terjadinya Pemberontakan atau Revolusi
Pemberontakan dari para mahasiswa, menurunkan rezim Suharto pada jaman orde baru. Munculah perubahan yang sangat besar pada Negara dimana sistem pemerintahan yang militerisme berubah menjadi demokrasi pada jaman refiormasi. Sistem komunikasi antara birokrat dan rakyat menjadi berubah (menunggu apa yang dikatakan pemimpin berubah sebagai abdi masyarakat).

2.     Dari Luar Masyarakat
ü  Peperangan
Negara yang menang dalam peperangan pasti akan menanamkan nilai-nilai sosial dan kebudayaannya.
ü  Lingkungan
Terjadinya banjir, gunung meletus, gempa bumi, dll yang mengakibatkan penduduk di wilayah tersebut harus pindah ke wilayah lain. Jika wilayah baru keadaan alamnya tidak sama dengan wilayah asal mereka, maka mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan di wilayah yang baru guna kelangsungan kehidupannya.
ü  Kebudayaan Lain
Masuknya kebudayaan Barat dalam kehidupan masyarakat di Indonesia menyebabkan terjadinya perubahan.

7.    FAKTOR-FAKTOR PENDORONG DAN PENGHAMBAT PERUBAHAN SOSIAL
1.     Faktor-faktor Pendorong
ü  Intensitas hubungan/kontak dengan kebudayaan lain
ü  Tingkat Pendidikan yang maju
ü  Sikap terbuka dari masyarakat
ü  Sikap ingin berkembang dan maju dari masyarakat
2.     Faktor-faktor Penghambat
ü  Kurangnya hubungan dengan masyarakat luar
ü  Perkembangan pendidikan yang lambat
ü  Sikap yang kuat dari masyarakat terhadap tradisi yang dimiliki
ü  Rasa takut dari masyarakat jika terjadi kegoyahan (pro kemapanan)
ü  Cenderung menolak terhadap hal-hal baru

8.    DAMPAK AKIBAT PERUBAHAN SOSIAL
Arah perubahan meliputi beberapa orientasi, antara lain
1)   perubahan dengan orientasi pada upaya meninggalkan faktor-faktor atau unsur-unsur kehidupan sosial yang mesti ditinggalkan atau diubah,
2)   perubahan dengan orientasi pada suatu bentuk atau unsur yang memang bentuk atau unsur baru,
3)   suatu perubahan yang berorientasi pada bentuk, unsur, atau nilai yang telah eksis atau ada pada masa lampau. Tidaklah jarang suatu masyarakat atau bangsa yang selain berupaya mengadakan proses modernisasi pada berbagai bidang kehidupan, apakah aspek ekonomis, birokrasi, pertahanan keamanan, dan bidang iptek; namun demikian, tidaklah luput perhatian masyarakat atau bangsa yang bersangkutan untuk berupaya menyelusuri, mengeksplorasi, dan menggali serta menemukan unsur-unsur atau nilai-nilai kepribadian atau jatidiri sebagai bangsa yang bermartabat.
Dalam memantapkan orientasi suatu proses perubahan, ada beberapa faktor yang memberikan kekuatan pada gerak perubahan tersebut, yang antara lain adalah sebagai berikut,
1)   suatu sikap, baik skala individu maupun skala kelompok, yang mampu menghargai karya pihak lain, tanpa dilihat dari skala besar atau kecilnya produktivitas kerja itu sendiri,
2)    adanya kemampuan untuk mentolerir adanya sejumlah penyimpangan dari bentuk-bentuk atau unsur-unsur rutinitas, sebab pada hakekatnya salah satu pendorong perubahan adanya individu-individu yang menyimpang dari hal-hal yang rutin. Memang salah satu ciri yang hakiki dari makhluk yang disebut manusia itu adalah sebagai makhluk yang disebut homo deviant, makhluk yang suka menyimpang dari unsur-unsur rutinitas,
3)   mengokohkan suatu kebiasaan atau sikap mental yang mampu memberikan penghargaan (reward) kepada pihak lain (individual, kelompok) yang berprestasi dalam berinovasi, baik dalam bidang sosial, ekonomi, dan iptek,
4)   adanya atau tersedianya fasilitas dan pelayanan pendidikan dan pelatihan yang memiliki spesifikasi dan kualifikasi progresif, demokratis, dan terbuka bagi semua fihak yang membutuhkannya


 BAB  III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada pembahasan maka kesimpulan yang dapat dipaparkan dalam makalah ini adalah :
1.     Perubahan sosial dapat diartikan sebagai segala perubahan pada lembaga-lembaga sosial dalam suatu masyarakat. Perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga sosial itu selanjutnya mempunyai pengaruhnya pada sistem-sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, pola-pola perilaku ataupun sikap-sikap dalam masyarakat itu yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial.
2.     Proses perubahan sosial terdiri dari tiga tahap barurutan : (1) invensi yaitu proses di mana ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan, (2) difusi, ialah proses dimana ide-ide baru itu dikomunikasikan ke dalam Sistem sosial, dan (3) konsekwensi yakni perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem social sebagai akibat pengadopsian atau penolakan inovasi.
3.     Perubahan sosial selalu menimbulkan perubahan dalam masyarakat, salah satunya adalah globalisasi yang menimbulkan berbagai dampak baik positif maupun negative dari sisi positif misalnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat dinikmati seluruh kelompok sosial masyarakat.

B.    Saran
Perubahan sosial dalam masyarakat tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu, olehnya itu kita sebagai bagian dari kelompok sosial harus berusaha mengendalikan perubahan itu ke arah yang positif agar budaya yang terbentuk dari perubahan sosial dapat memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup manusia yang makmur dan damai.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar